Kekuatan Sebuah Senyum
"Bintaro... bintaro...
Bintaro dik... Bintaro..."
Sore itu kala matahari dengan malu-malu menenggelamkan sinarnya pertanda senja. Pakaian seadanya, baju merah dan celana biru yang melekat dibadannya menjadi kostum hari itu untuk menunaikan tugas. Jam menunjukkan pukul 15.00, itu berarti orang-orang yang bekerja sudah keluar dari sarang profesinya.
Saatnya bertugas.
Satu per satu penumpang naik.
Tik..tik.. Bunyi koin yang diketokkan pada pintu bis.
"ayoo neng... "
"kiri-kiri..."
Wanita itu turun menggapai penumpangnya.
tukk.. tukk.. Suara kaki melangkah menaiki anak tangga.
Tak ada wajah lelah yang tampil dari rautnya. Yang ada hanyalah senyum yang tersungging manis di sudut wajahnya. Ya senyum yang menampakkan kebahagian walaupun berat yang harus dijalaninya. Peluh menetes tak dihiraukannya demi mendapatkan uang untuk menyambung hidupnya yaa paling tidak selama 1 minggu ini.
Lagi-lagi, berhenti karena ada penumpang yang hendak naik. Makin lama kendaraan jurusan Blok M-Rempoa mulai penuh. Seperti biasanya jalanan Tanah Kusir-Bintaro sore hari padat merayap. Namun hal itu tak mempengaruhinya untuk menampakkan senyum dan membagi-bagikannya terutama untuk para penumpangnya yang kelihatan stres setelah lelah bekerja tapi tetap harus menghadapi rutinas kemacetan sore.
Jalanan itu tampaknya menjadi wadah tumpah ruah para pekerja kantoran. Ya mungkin menurutnya, hanya senyum inilah yang bisa ia beri kepada para penumpangnya sebagai fasilitas bis tersebut. Sedikit menghibur bagi ku sebagai penumpang. Namun, dibalik itu aku seperti bahagia melihat senyum itu. Senyum yang tampil dikala tekanan menghadang.
Oh tidak... Lebih tepat sindiran halus bagiku (memang tidak ada maksud, tapi aku saja yang merasa tersindir) dalam menapaki alur kehidupan ini.
Sementara wanita itu berkutat dalam menaikkan penumpang, sang suami (menurut interpretasiku) fokus dengan setir dan jalannya didepannya. Kembali ini menurut pandanganku saja, sepertinya ini adalah suami istri yang menyambung hidup dengan menjalankan profesi ini.
Aku tak tahu bagaimana latar belakang kehidupan wanita tangguh itu. Namun, kuyakin senyum yang terpancar dari wajahnya merupakan senyuman tulus yang pernah kulihat dijalanan...
Aku kagum senyum itu.
Senyum perlambang sebuah ketulusan.
Bintaro dik... Bintaro..."
Sore itu kala matahari dengan malu-malu menenggelamkan sinarnya pertanda senja. Pakaian seadanya, baju merah dan celana biru yang melekat dibadannya menjadi kostum hari itu untuk menunaikan tugas. Jam menunjukkan pukul 15.00, itu berarti orang-orang yang bekerja sudah keluar dari sarang profesinya.
Saatnya bertugas.
Satu per satu penumpang naik.
Tik..tik.. Bunyi koin yang diketokkan pada pintu bis.
"ayoo neng... "
"kiri-kiri..."
Wanita itu turun menggapai penumpangnya.
tukk.. tukk.. Suara kaki melangkah menaiki anak tangga.
Tak ada wajah lelah yang tampil dari rautnya. Yang ada hanyalah senyum yang tersungging manis di sudut wajahnya. Ya senyum yang menampakkan kebahagian walaupun berat yang harus dijalaninya. Peluh menetes tak dihiraukannya demi mendapatkan uang untuk menyambung hidupnya yaa paling tidak selama 1 minggu ini.
Lagi-lagi, berhenti karena ada penumpang yang hendak naik. Makin lama kendaraan jurusan Blok M-Rempoa mulai penuh. Seperti biasanya jalanan Tanah Kusir-Bintaro sore hari padat merayap. Namun hal itu tak mempengaruhinya untuk menampakkan senyum dan membagi-bagikannya terutama untuk para penumpangnya yang kelihatan stres setelah lelah bekerja tapi tetap harus menghadapi rutinas kemacetan sore.
Jalanan itu tampaknya menjadi wadah tumpah ruah para pekerja kantoran. Ya mungkin menurutnya, hanya senyum inilah yang bisa ia beri kepada para penumpangnya sebagai fasilitas bis tersebut. Sedikit menghibur bagi ku sebagai penumpang. Namun, dibalik itu aku seperti bahagia melihat senyum itu. Senyum yang tampil dikala tekanan menghadang.
Oh tidak... Lebih tepat sindiran halus bagiku (memang tidak ada maksud, tapi aku saja yang merasa tersindir) dalam menapaki alur kehidupan ini.
Sementara wanita itu berkutat dalam menaikkan penumpang, sang suami (menurut interpretasiku) fokus dengan setir dan jalannya didepannya. Kembali ini menurut pandanganku saja, sepertinya ini adalah suami istri yang menyambung hidup dengan menjalankan profesi ini.
Aku tak tahu bagaimana latar belakang kehidupan wanita tangguh itu. Namun, kuyakin senyum yang terpancar dari wajahnya merupakan senyuman tulus yang pernah kulihat dijalanan...
Aku kagum senyum itu.
Senyum perlambang sebuah ketulusan.
Comments